Rinjani Kelabu

(Menang lomba “Lukisan Cinta Nusantara)

Sembalun senja masih seperti biasanya. Terselimuti kabut tipis yang semakin pekat. Berlahan bebukitan yang mengelilinginya menghilang. Tertutup oleh awan tebal dan gelap malam. Saat itu hawa dingin semakin mencekam. Mencoba untuk mencakar-cakar kulit anak-cucu Adam. Menyusup hingga menjerang belulang. Menerobos hingga ke sumsum. Hampir membeku. Jika sempat berjamaah di salah satu masjid waktu shalat Maghrib dan Isya, pemandangan yang wajib kita lihat adalah para lelaki berjaket tebal dengan sorban yang menutupi kepalanya atau melilit di lehernya. Jika menunggu iqamat sambil berdiri, mereka akan menghangatkan kedua telapak tangannya di ketiak secara silang.

Bagi Syarah, beberapa bulan tinggal kaki Rinjani sudah bisa dikatakan cukup untuk masa adaptasi. Tidak seperti ketika awal bertandang, ia bak sebongkah patung. Tak bisa bergerak. Tepatnya ia tak berdaya menggerakkan badannya. Dan ketika itu ia harus segera memakai berlapis kain, atau pergi ke dapur untuk sekedar duduk manis di depan tungku. Menghangatkan raganya.

Ia asli keturunan Jawa, Sragen tepatnya. Usai lulus dari pondok, ia ditugaskan di Lombok. Di Sembalun Lawang ini. Di Yayasan Amal Yaumi. Menjadi tenaga pengajar di Pondok Petani yang dikelolanya. Di penghujung tugas, ia dilamar oleh seorang Ikhwan lulusan Univ Madinah, yang baru pulang ke kampung halaman beberapa bulan yang lalu. Namanya Ahmad. Ahmad Maulana lengkapnya. Dan baru sebulan ini keduanya melayarkan bahtera rumah tangganya.  Mereka berusaha semaksimal mungkin agar menjadi nahkoda dan navigator yang professional. Yang menjadikan Al-Qur’an sebagai kompas kehidupan dan akhirat sebagai tujuan.

“Izinkan kami berlabuh ke tepian dengan selamat, Ya Allah….” Ia selalu memohon dalam rukuk dan sujudnya. Kepada yang Maha Menyelamatkan dirinya.

Sudah dua hari suaminya memuncak. Kemarin siang tepatnya. Bersama temannya yang dari Madinah. Teman karibnya yang katanya selalu membantunya selama kuliyah di sana.

Tapi sore ini tiba-tiba hatinya gusar. Cemas. Tidak seperti kemarin ketika mau berangkat. Usai mengecup keningnya. Saat tangannya melambai sambil meninggalkan dirinya.

“Ya Allah, semoga tidak terjadi apa-apa dengannya. Jagalah suamiku, Ya Allah. Suamiku yang kucintai.” Ia membatin.

Semakin lama kecemasan itu malah menyeruak di dalam relung hatinya. Tak mau hengkang. Ia semakin gelisah. Tak terperikan. Melenyapkan konsentrasi dalam menjalankan pekerjaan rumahnya. Ia tak berdaya. Lunglai karena kecemasan yang menggerogotinya.

“Allahumma inni a’udzu bika minal hammi wal huzni wal ‘ajzi wal kasali wa a’udzu bika min ghalabatid daini wa qahrir rijal.”[1] Ia mengangkat tangannya setinggi dada. Usai shalat rawatib ba’da Dzuhur. menundukkan wajahnya. Ia memohon kepad-Nya dengan penuh hidmat, untuk menghilangkan kecemasan yang tengah membelenggu.

$$$

Senja mulai menyapa. Ahmad baru melewati setengah perjalanan menuju puncak. Laki-laki yang bersamanya adalah Husen Al-Madani. Sebagaimana orang Arab pada umunya, ia berperawakan tinggi dan besar. Tubuhnya kekar. Berkulit agak hitam, tidak seperti kebanyakan kulit perempuannya. Ia anak pemilik kost yang ditempati Ahmad saat di Madinah dulu. Meski orang Arab, pemahaman agamanya masih kalah dibandingkan Ahmad yang memang hijrah ke sana untuk mendalami agama. Tafsir Qur’an, itulah jurusan yang diambilnya. Dan Ahmad sekarang adalah seorang hafidz. Sedangkan Husen hanyalah seorang awam Madinah. Meski demikian, keawamannya tidak bisa disamakan dengan orang Indonesia kebanyakan.

Sekarang mereka berdua tengah menyusuri sebuah sungai kering yang tertutup hamparan batu. Sebuah batu vulkanik yang telah membeku. Ia tampak seperti permadani hitam yang dihamparkan dari singgasana raja hingga gerbang istananya. Dan singgasananya itu adalah pucuk Rinjani.

Pos tiga sudah terlewati. Pemandangan ilalang yang terhampar luas sebentar lagi akan berganti dengan bebukitan yang ditudungi beberapa pohon pinus. Yang berarti juga telah melewati beberapa bukit. Tinggal satu bukit lagi untuk mencapai Pelawangan[2]. Bukit Penyesalan namanya. Ya, bukit Penyesalan. Demikianlah mereka menyebutnya. Mungkin orang-orang yang memutuskan untuk kembali ke rumah akan menyesal jika hanya sampai di bukit ini. Karena sudah menghabiskan bekal dan tenaga, tapi malah urung melanjutkan perjalanannya hingga klimaks. Padahal hanya tinggal mendaki beberapa ratus meter lagi untuk bisa menyaksikan keindahan alamnya. Seperti teman Ahmad dulu, yang sudah berkepala empat. Ia mungkin menyesal karena kembali ketika baru mencapai bukit tersebut.

“Bautku coopooot….bautku coopooot….”  Teman Ahmad itu tak henti mengeluh saat kakinya sudah mulai limbung. Sebelumnya Ahmad sempat memprediksi jika ia tidak akan mencapai puncak. Karena baru beberapa meter berjalan, ia sudah terkena demam gunung. Ia muntah-muntah. Dan ternyata prediksinya benar.

Tapi orang Arab yang bersamanya ini sepertinya tidak merasakan kelelahan sama sekali. Padahal menurutnya, ia jarang sekali mendaki gunung. Bisa dibilang, inilah pertama kalinya berpetualang.

“Nastarih huna, ya zamiili. Sanabiitu fi hadzal makan li hadzihil lailah.”[3] Ujarnya saat sudah sampai di Pelawangan.

Husen mengangguk.

“Ayyu sa’atil aan?”[4] Husen menengokkan wajahnya ke posisi Ahmad yang berada di belakangnya. Ia menggunakan bahasa fushah, untuk menghormati Ahmad yang tidak terbiasa menggunakan bahasa pasaran. Bagi awwam Arab, bahasa fushah sudah bisa dikatakan asing. Maka tak jarang dari mereka yang mengucapkan shadaqallahul azhim saat mendengar orang Indonesia berbahasa Arab yang dikiranya menjiplak kalimat dari Al-Qur’an.

Ia melongok jam tangan Q&Q hitam yang memilit pergelangannya sambil menekan tolmbol light-nya. Sinar hijau pun langsung memenuhi rongga layar jam tersebut. Ia mencoba menatap angka-angka yang tertera.

“Assaa’atul ‘aasyirah wa nushf.”[5] Jawab Ahmad.

“Mataa sanas’ud ila a’maqihi?”[6]

“Ghodan. Fi shabaahil baakirah. Insya Allah.”[7]

Ahmad mencari tempat yang sedikit terlindung dari deru angin malam. Beberapa tenda sudah berdiri di Buper itu. Ia meletakkan tas rangsel merah yang sejak tadi menimpuk badannya. Mengeluarkan sebagian isinya. Dari tenda dum biru tua juga perlengkapannya. Ia mendirikan kemah di tempat itu. Adapun perlengkapan logistik ada di tas rangsel hitam yang dibawa Husen. Ia tengah duduk sambil menikmati dinginnya angin malam yang berhembus kencang. Ia semakin menggigil. Berkali-kali merapatkan switernya. Juga merapikan syal biru-putih yang melilit lehernya.

“Maadza taro lau abhatsu ‘anil hathob litaskhini ajsaamina fiima ba’d?”[8] Ia mendekati Ahmad.

“Hasanan. Haadza ro’un jamiil.”[9] Jawab Ahmad. “Idzan, ma’a uqiimu haadzihil khoimah, anta tabhatsu ‘anhu.”[10]

Setelah mendirikan tenda, mereka langsung mengeluarkan bekal yang dibawa. Menyantapnya sambil menikmati malam di samping tungku yang berada di depan tenda. Usai makan malam mereka langsung mencari tanah lapang untuk mendirikan shalat. Setelah bertayamum keduanya langsung menjamak shalat Maghrib dan Isya. Ahmad menjadi imamnya. Bacaannya bagus. Mendekati sempurna. Waktu di Madinah ia sempat ber-talaqqi[11] dengan beberapa syaikh di sana. Sekarang ia encoba meniru nada Musyari dalam tilawahnya. Seketika itu tubuhnya menggigil. Bukan karena dingin yang mencekam. Tapi karena ayat-ayat yang ia baca. Ia sesenggukan. Menghayati setiap kalimat yang terlantun dari lisannya.

“Dan sekiranya ada suatu bacaan (kitab suci) yang dengan bacaan itu gunung-gunung dapat digoncangkan atau bumi jadi terbelah atau oleh karenanya orang-orang yang sudah mati dapat berbicara, tentulah Al Quran itulah dia. Sebenarnya segala urusan itu adalah kepunyaan Allah. Maka tidakkah orang-orang yang beriman itu mengetahui bahwa seandainya Allah menghendaki (semua manusia beriman), tentu Allah memberi petunjuk kepada manusia semuanya. Dan orang-orang yang kafir senantiasa ditimpa bencana disebabkan perbuatan mereka sendiri atau bencana itu terjadi dekat tempat kediaman mereka, sehingga datanglah janji Allah. Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji.”[12]

Usai shalat mereka langsung beristirahat di dalam tenda. Mencoba memulihkan tenaga untuk menyusuri jalan setapak berpasir menuju puncak. Jam tiga dini hari rencananya.

$$$

Jam setengah sembilan, sudah kewajiban bagi puncak Rinjani untuk mengusung badai. Debu, kerikil dan angin kencang. Biasanya, saat itu para pendaki sudah beranjak pulang ke Pelawangan.

Semua sudah maklum bahwa manusia hanya bisa berencana, selanjutnya Allah-lah yang menetukan. Pun dengan Ahmad dan Husen, ternyata Allah menakdirkan agar keduanya kesiangan. Tidak bisa bangun sesuai rencana.

“Astagfirullahhal Adzim. Sudah jam setengah lima.”  Ahmad kaget setelah menatap jam tangannya.

“Istaiqizh….istaiqizh….! Laqad ghalabanan naum.”[13] Ia mencoba membangunkan Husen.

Husen langsung duduk. Bergegas keluar. Lantas bersiap-siap shalat Shubuh. Ahmad menyarankannya untuk tidak memuncak. Tapi Husen memaksa.

“Kayaknya kita tidak usah memuncak.” Ujar Ahmad.

“Kenapa memangnya?”

“Jam setengah sembilan biasanya sudah badai. Berangkat jam segini tidak cukup waktu untuk sampai ke puncak.”

“Berapa jam biasanya sampai puncak?” Tanya si Madani.

“Tiga jam.”

“Berarti kalau berangkat sekarang kita sampai puncak jam setengah delapan. Cukupkan?”

“Itu prediksi kita. Kalau badainya dating lebih cepat dari itu? Atau ada masalah yang menghambat perjalanan? Lebih baik besok saja kita muncak. Sekarang kita ke danau saja.” Usulnya.

“Ayolah kawan. Aku harus secepatnya pulang ke Madinah. Tidak bisa berlama-lama di sini. Targetnya besok pagi aku harus kembali ke Jakarta. Dan niatku juga hanya ingin memuncak, bukan ke danau. Aku ingin melihat keeksotisan rinjani dari puncak.”

Ahmad tidak bisa mengelak. Ia sudah terlalu sering merepotkannya ketika kuliyah di Madinah. Ia segan untuk tidak meng-iya-kan ajakannya. Memang, sebagian besar turis asing lebih suka memuncak daripada ke danau. Kalaupun ada, itu karena ia mendaki melalui jalur Senaru. Sedangkan jalur ke puncak harus dari pelawangan Sembalun. Maka, mau tidak mau ia harus ke danau terlebih dahulu untuk bisa sampai ke pelawangan Sembalun itu. Baru ia bisa ke puncak.

“Berarti kita tidak memiliki waktu untuk beristirahat.”

“Ok, kalau begitu.”

Keduanya pun beranjak. Ahmad memasukkan sebotol air dan sebungkus roti ke dalam tas kecil hitam secukupnya. Tak sempat berlamat-lamat menikmati keeksotisan alam selama perjalanan menuju puncak. Tak bisa menatap danau Segara Anak yang terhampar membentuk huruf U tak beraturan. Menyaksikan seonggok Gunung Baru yang menyembul di antara lengkungan danau itu. Indah nian rupanya. Sungguh eksotis dan langka. Tapi sekarang mereka hanya fokus untuk menyusuri jalan setapak berpasir yang diapit jurang-jurang terjal. Di kanan-kirinya. Jalan setapak itu nampak seperti pinggiran bendungan raksasa. Bendungan alami yang diciptakan langsung oleh Sang Kuasa. Jika di-zoom puluhan kali lipat, mungkin danau itu akan tampak seperti waduk terbesar dunia, Three Gorges yang terdapat di Provinsi Hubei China. Di tengah perjalanan, ia berpapasan dengan pendaki dari manca Negara; Belanda, Korea, Perancis, Swedia dan yang lainnya. Juga pendaki-pendaki lokal.

$$$

Angin pagi sudah mengusung hawa badai. Ahmad mengusulkan untuk segera turun. Tapi Husen memaksa untuk memuncak. Ia mengingatkan sekali lagi. Tapi ia tetap memaksa. Ia masih penasaran dengan puncaknya.

Tidak terasa keduanya sudah melewati 70 persen perjalan. Hampir mendekati puncak. Sauasana masih seperti biasa. Hawa badai yang sebenarnya sudah tercium oleh Ahmad masih belum terlihat secara signifikan untuk berubah menjadi perenggut nyawa. Sehingga keduanya tetap meneruskan perjalan.

Beberapa saat kemudian, altar sempit Rinjani pun terjamah. Memang indah.

“Al’an,  laqad shadaqtu bi qishshatika yaa Ahmad.”[14] Ujar Husen. Dulu ia sama sekali tidak percaya jika ada sebuah danau di puncak gunung. Maka ketika ke Lombok ia pun memaksakan dirinya untuk memuncak.

Keduanya duduk sejenak. Menikmati keindahan puncak. Sambil mengambil dokumentasi secukupnya.

$$$

Angin berhembus semakin kencang. Ahmad meminta untuk segera turun. Hatinya sudah mulai gusar. Walau belum setengah sembilan, hawa badai itu semakin menyundul-nyundul ulu hatinya. Husen tidak merasakan hawa itu. Ia belum berpengalaman. Sifat temperamentnya tidak bisa diluluhkan. Ia tetap memaksa. Memaksa untuk berdiam sesaat di puncak sempit itu. Ahmad pun akhirnya meninggalkan Husen.

Tak terasa sepuluh menit berlalu. Ahmad sudah tak kelihatan punggungnya dari puncak. Belum terlalu jauh. Karena ia sengaja tidak berlari. Hanya menyeret dengan langkah kecil saja. Tidak sperti kebanyakan orang ketika menuruni jalan tersebut. Tapi tiba-tiba. Dari arah puncak, dari belakangnya. Badai itu datang. Badai yang mengusung debu, kerikil dan angin kencang. Menghempasnya. Ia terpelanting. Terperosok ke pinggir utara. Ia berusaha meraih apa saja yang bisa menyelamatkan dirinya. Tapi nihil.

Ia sudah yakin bahwa sekaranglah akhir hayatnya. Ia tidak memikirkan siapa-siapa. Tidak Husen, tidak juga istrinya. Apalagi keluarganya. Hanya memikirkan keselamatan dirinya saja. Dan ternyata, Allah berkehendak lain. Jatah rizkinya masih belum habis. Telapak kakinya tiba-tiba tersangkut di antara dua batu. Dan ia bisa melepasnya dengan meninggalkan sepatunya. Ternyata di samping batu yang menjepit itu terdapat bongkahan batu besar nan kokoh. Ia pun langsung menyeret badannya menuju batu itu untuk bernaung di bawahnya. Akhirnya Ahmad diselamtakan dari bencana yang mengintainya. Meski badan remuk redam karena hantaman kerikil dan kaki yang pincang karena sempat terjepit. Ia kemudian tak sadarkan diri.

$$$

Hingga matahari istiwa. Tenda dum warna biru itu tetap lengang dari penghuninya. Tetangga tenda pun curiga. Jangan-jangan ia tersekap badai saat memuncak. Karena menurut hitungan waktu, seharusnya ia sudah kembali sejak tadi. Ia pun menghubungi tim SAR.

Menjelang Maghrib, Ahmad ditemukan. Diketahui karena salah satu tim SAR melihat eidelwis yang roboh dan sebagian tangkainya patah. Ia yakin bahwa benyebabnya bukanlah badai garang itu. Setelah ditelusuri, mereka mendapatkan badan Ahmad dalam keadaan pingsan. Dengan berbagai luka di sekujur tubuhnya. Mereka pun membawanya pulang.

Husen. Ia terbawa badai ke arah selatan. Ke dalam jurang yang terjal. Curam berbatu. Ia tidak bisa diselamatkan. Bahkan tim SAR pun tidak tahu akan dicari kemana jasadnya. Allah menakdirkan bahwa jatah rizkinya telah habis di puncak Rinjani ini. Sedangkan Ahmad yang menemaninya belum siuman dari pingsannya. Mereka pun menunda pencarian jasadnya.

$$$

Pagi itu. Ketika matahari merambat naik. Teka-teki kecemasan yang melanda Syarah terpecahkan. Ternyata suaminya tertimpa bencana. Bencana yang membuatnya lunglai.

“Kuatkan hamba-Mu yang lemah ini dalam menghadapi ujian-Mu, Ya Allah. Jadikanlah aku hamba yang senatiasa bersyukur.” Ia membatin. Sambil menatap suaminya dengan mata nanar.

Tapi ternyata tragedi itu sudah terlanjur membuatnya shok. Hingga akhirnya ia lemas. Lantas terjatuh. Ia memang terlalu lemah untuk menghadapi semua ujian ini. Ia pun tidak tersadarkan diri. Pingsan. Menemani suaminya.

By: Faqih Adz-Dzaky


[1] . Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari rasa cemas dan sedih, dari kelemahan dan kemalasan. Dan aku berlindung kepada-Mu dari belenggu hutang dan ancaman orang-orang.

[2] . Lereng pertama sebelum sampai puncak yang membagi jalan menuju puncak tertinggi Rinjani dan ke danau.

[3] . Kita istirahat di sini wahai saudaraku. Malam ini kita akan menginap di tempat ini.

[4] . Jam berapa sekarang?

[5] . Jam sepuluh lebih tiga puluh.

[6] . Kapan kita akan memuncak?

[7] . Besok. Saat masih dini hari. Jika Allah menghendaki

[8] . Bagaimana pendapatmu jika aku mencari kayu bakar untuk menghangatkan badan kita nanti.

[9] . Bagus. Ini ide yang cemerlang.

[10] . Kalau begitu. Bersamaan aku mendirikan tenda, kamu mencari (kayu bakar) tersebut.

[11] . Guru membaca murid menirukan

[12] . Ar-Ra’d: 31

[13] . Bangun….bangun….!! Kita kesiangan.

[14] . Sekarang, saya baru percaya dengan ceritamu wahai Ahmad.

Satu respons untuk “Rinjani Kelabu

  1. Subhanallah….cerita yg sgt menyentuh….
    semoga wanita tersebut senantiasa mensupport suaminya berda’wah li i’lai kalimatillah…..
    Amin y Rabb….

Tinggalkan komentar