Hadits Palsu

“Akan datang di akhir zaman nanti para dajjal dan pendusta, mereka mendatangimu dengan hadits-hadits yang belum pernah kamu dengar juga belum pernah didengar oleh bapak-bapak kamu, maka berhati-hatilah kamu dari mereka, jangan sampai mereka menyesatkan kamu dan menimbulkan fitnah terhadapmu.” (HR. Muslim)

Inilah sebuah isyarat dari Rasulullah r yang pasti akan terjadi. Karena setiap yang beliau sabdakan tidak lain adalah wahyu dari Sang Mudabbir (Pengatur) jagat raya ini. Bukti riil dari ucapan beliau ini adalah mencuatnya ‘hadits-hadits palsu (maudu’)’ di abad pertengahan Islam. Maksudnya, di masa itu merebak kedustaan yang dibuat-buat oleh seseorang yang mengaku ulama kemudian disandarkan kepada Rasulullah r. Padahal kenyataannya, beliu tidak melakukan atau mengucapkannya sama sekali.

Dalam ilmu Mushthalah Hadits, ia termasuk dalam bagian dari hadits dhaif (lemah), bahkan pada derajat yang paling rendah. Seorang muslim tidak boleh menggunakannya sebagai landasan dalil dalam beramal.

Berkaitan dengan masalah ini, para ulama bersepakat bahwa tidak halal bagi seorang muslim untuk meriwayatkan suatu hadits yang telah diketahui kepalsuannya. Apapun bentuk dan maknanya. Keculai jika disertai dengan penjelasan tentang kedustaannya untuk memperingatkan orang-orang awam yang tidak mengetahui agar tidak tertipu dengan hadits tersebut. Rasulullah r juga telah memperingatkan, “Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama seperti berdusta atas nama sesorang. Barang siapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka persiapkanlah tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari, 1291)

Cara Membuat Hadits Palsu

Beberapa cara dalam memalsukan hadits adalah:

Pertama, dengan membuat kalimat sendiri, kemudian disusun sebuah sanad (mata rantai perawi hadits) lalu diriwayatkan kepada orang lain.

Kedua, dengan mengambil kata-kata ahli hikmah atau nasehat, kemudian dibuat rantai sanadnya.

Cara Mengetahui Hadits Maudhu’

Pertama, pengakuan dari si pemalsu itu sendiri. Seperti pengakuan Abi Ishmah Nuh bin Abi Maryam bahwa ia telah memalsukan hadits tentang fadhail Al- Qur’an surat demi surat. Atau yang terjadi pada Abdul Karim bin Abil ‘Auja’ yang dibunuh oleh Muhammad bin Sulaiman Al-Abbasy, seorang Amir di negeri Basrah. Sebelum dibunuh ia berkata, “Aku telah membuat empat ratus ribu hadits palsu, aku halalkan yang haram dan aku haramkan yang halal.”

Senada dengan Pengakuannya

Seperti seseorang yang meriwayatkan suatu hadits dari seorang syaikh, namun ketika ia ditanya tahun kelahirannya, ternyata ia lahir setelah wafatnya syaikh tersebut. Dan tidak pernah didengar hadits itu kecuali dari dirinya. Ini sudah menunjukkan pengakuan kedustaannya.

Contohnya adalah Al-Makmun bin Ahmad Al-Harawy yang mengaku telah mendengar hadits dari Hisyam bin Ammar. Ketika Al-Khatib Ibnu Hibban bertanya kepada Al-Makmun, “Kapan engkau masuk Syam (Negeri tempat tinggal Hisyam)?” Ia menjawab, “Tahun 250 H”. Ibnu Hibban berkata, “Hisyam yang kamu riwayatkan tadi wafat tahun 245 H.” Al-Makmun menjawab untuk berkelit, “Ini Hisyam bin Amar lainya.”

Tanda-tanda Pada Si Perawi Hadits

Seperti seorang Syiah Rafidhah yang meriwayatkan hadits tentang keutamaan-keutamaan sahabat Ali bin Abi Thalib t dan Ahlul bait; atau seseorang yang bertaqlid kepada mahzab tertentu kemudian membuat hadits palsu untuk merendahkan mahzab-mahzab lainya.

Seperti kisah Al-Makmun bin Ahmad Al-Harawy. Ketika disampaikan kepadanya tentang Imam Syafi’i yang memiliki banyak pengikut di Khurasan. Begitu mendengarnya, ia langsung menyusun sanad sendiri, lalu membuat hadits palsu berbunyi, “Akan datang nanti di antara umatku seorang yang bernama Muhammad bin Idris (yaitu Syafi’i), dia lebih berbahaya bagi umatku daripada Iblis. Akan datang nanti di antara umatku seorang yang bernama Abu Hanifah, dia adalah pelita bagi umatku.”

Tanda-tanda  Pada Matan Haditsnya

Dalam lafal hadits palsu biasanya terdapat banyak kerancuan. Bisa karena mengandung makna yang rusak, keji dan jelek, atau bertentangan dengan dalil-dalil Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Bisa juga karena isinya bertentangan dengan akal sehat (akal yang tidak menyimpang dari sunnah), kenyataan yang ada, atau melampaui batas dalam menentapkan ancaman Alloh I terhadap perkara kecil, dan melampaui batas dalam menetapkan janji Alloh r terhadap perkara yang sepele.

Seperti Abdurrahman bin Zaid bin Aslam meriwayatkan hadits, “Sesungguhnya perahu Nabi Nuh tawaf di Ka’bah tujuh kali, kemudian shalat di maqam Ibrahim.”

Dorongan para Pemalsu Hadits

a. Untuk mendekatkan diri kepada Alloh

Mereka memalsukan hadits dengan tujuan menyemangati manusia untuk berbuat baik, atau memperingatkan mereka agar tidak berbuat kemungkaran. Mereka kebanyakan adalah kaum yang mendakwakan dirinya orang-orang zuhud ataupun orang-orang Sufy. Karena perbuatan mereka itulah banyak tersebar bid’ah dan khurafat dalam Islam. Mereka menganggap baik perbuatan itu. Padahal, mereka telah menipu dan menyesatkan manusia dari jalan kebenaran. Contohnya adalah Maisarah bin Abdi Rabbihi, ketika ia ditanya oleh Ibnu Mahdy, “Dari mana kamu dapatkan hadits “Barangsiapa yang membaca ini maka akan begini?” Ia menjawab. “Aku memalsukannya untuk menyemangati manusia.”

Di antara mereka adalah suatu kelompok ahlul bid’ah yang disebut Karramiyah. Mereka membolehkan membuat hadits palsu hanya untuk tujuan menyemangati manusia berbuat baik, atau memperingatkan mereka agar tidak berbuat kemungkaran.

Bahkan sebagian dari kaum Karamiyyah ada yang berkata, “Kami tidak berdusta atas nama Rasulullah, tapi kami berdusta untuk kepentingan Rasulullah.” Ini pada hakikatnya adalah perkataan orang-orang dungu. Apakah mereka lupa atau pura-pura lupa bahwa agama Islam ini telah disempurnakan, tidak membutuhkan tambahan dan pengurangan? Dan Rasullah r tidak butuh penetapan syari’at yang bersandar pada kedustaan?

b.  Membela mahzab atau kelompoknya

Terlebih lagi mazhab kelompok yang condong pada masalah politik setelah meletus fitnah di tengah-tengah ummat dan bermunculan kelompok-kelompok yang dilatarbelakangi kepentingan politik seperti syiah atau khawarij. Mereka adalah kelompok yang hanya bersandarkan atas hawa nafsu dan pemikiran semata, tidak memiliki pijakan atas Sunnah. Maka masing-masing membuat hadits palsu dengan tujuan untuk memperkokoh mazhab mereka. Seprti hadits, “Ali adalah sebaik-baik manusia, barang siapa ragu maka ia telah kafir.”

c. Mencela Islam

Mereka adalah kaum zindiq, yang menampakkan keislaman namun mereka pada hakikatnya adalah kafir. Mereka tidak mampu untuk menghancurkan Islam secara terang-terangan, maka mereka masuk melalui cara ini. Dengan membuat-buat hadits yang berisi celaan dan kejelekan tentang Islam, kemudian memasukkan keraguan kaum muslimin terhadap agama Islam. Contohnya adalah Muhammad bin Sa’id Asy-Syamy yang meriwayatkan hadits, “Aku adalah penghujung para Nabi, tiada lagi nabi sesudahku keculai kalau Alloh menghen-daki.” Ia telah menambah kalimat “kecuali kalau Alloh menghendaki” ke dalam hadits yang sahih. Ia termasuk golongan para zindiq yang kemudian dibunuh dan disalib.

d. Mencari perhatian penguasa

Untuk poin ini biasanya dilakukan oleh ulama-ulama su’ (jelek perangainya). Mereka ingin mendekatkan diri kepada penguasa dengan cara membuat-buat hadits yang disesuaikan dengan keadaan para penguasa walaupun dalam penyimpangan yang dilakukan oleh penguasa tersebut. Seperti kisah Ghiyats bin Ibrahim An-Nakha’i Al-Kufy dengan Amirul mukmin Al-Mahdy. Ketika ia bertemu dengan Al-Mahdy yang sedang bermain burung, ia membawakan sebuah hadits, “Tiada permainan yang bermanfaat kecuali dalam berpedang, lari dan pacuan kuda.” Ini adalah hadits shahih, tapi ia menambahkan setelahnya dengan kalimat “dan bermain burung” karena ingin mendapatkan perha-tian dari Al-Mahdy. Tapi kemudian Al-Mahdy mengetahui kedustaannya dan menyuruh untuk menyembelih burung tersebut.

e. Mencari penghasilan

Seperti perbuatan tukang cerita yang mencari uang dengan cara menyempaikan hadits kepada manusia. Mereka terkadang membuat cerita-cerita yang aneh dan menakjubkan yang bisa membuat orang tercengang dan tertarik untuk mendengarkannya. Lantas mereka menyatakan bahwa cerita itu datang dari Rasulullah r. Tujuannya agar mereka bisa mendapatkan uang dari orang yang mendengarkan cerita itu.

f. Ingin Terkenal

Biasanya dengan cara membawakan hadits yang terdengar asing/aneh dan tidak pernah didapatkan dari seorang ulama hadits pun. Baik dengan cara membolak-balik sanad sehingga menjadi asing dan orang-orang ingin mendegarkannya.

Alhamdulillah, begitu besar Rahmat Alloh I kepada hamba-Nya sehingga memunculkan di muka Bumi ini para ulama pewaris Nabi r yang berjuang dengan lisan, tangan dan pena. Mereka mengha-puskan penyimpangan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak berjalan di atas alhaq, penafsiran orang-orang yang tidak tahu agama dan penyelewengan orang yang ghuluw (belebihan) dalam beragama.

Merekalah para ahlul hadits yang rela menghabiskan waktu untuk mencari hadits dan mengoreksi kesahihannya. Mereka tidak segan-segan untuk melakukan perjalanan yang panjang walaupun hanya untuk mendapatkan satu hadits. Kepada merekalah kita bertanya, kitab-kitab merekalah yang harus kita pelajari karena mereka memang ahli dalam ilmu hadits. Agar kita memiliki ilmu sebelum mengungkapkan sebuah hadits sehingga tidak terjerumus ke dalam ancaman bagi orang-orang yang berdusta atas nama Rasulullah r. Karena tidak kita pungkiri lagi bahwa sudah banyak tersebar hadits palsu di mata masyarakat kita, contoh yang paling populer adalah, “Perselisihan umatku adalah rahmat.”

Maraji’: 1. Ba’itsul Hatsits, Syarh Ahmad Muhammad Syakir, 2. Taisirul Mushthalah, Dr. Mahmud Ath-Thahhan. Sumber: http://www.alsofwah.or.id

Tinggalkan komentar